PEMBAHASAN
Adalah perubahan prilaku
kesehatan dan model psikologis. Teori Health Belief Model didasarkan
pada pemahaman bahwa seseorang akan mengambil tindakan yang akan berhubungan
dengan kesehatan. Teori ini dituangkan dalam lima segi pemikiran dalam diri
individu,yang mempengaruhi upaya yang ada dalam diri individu untuk menentukan
apa yang baik bagi dirinya, yaitu perceived
susceptibility (kerentanan yang dirasakan/ diketahui), perceived severity (bahaya/ kesakitan
yang dirasakan), perceived benefit of
action (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil), perceived barrier to action (hambatan
yang dirasakan akan tindakan yang diambil), cues to action (isyarat untuk melakukan tindakan). Hal tersebut
dilakukan dengan tujuan self efficacy atau
upaya diri sendiri untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
Tiga
faktor penting dalam Health Belief Model, yaitu :
1.
Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam
rangka menghindari suatu penyakit atau
memperkecil risiko kesehatan.
2.
Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang
membuatnya merubah perilaku.
3.
Perilaku itu sendiri.
Ketiga
faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang
kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil
kerentanan terhadap penyakit, adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku dapat
memberikan keuntungan, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan,
interaksi dengan petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku,
dan pengalaman mencoba perilaku yang serupa.
Dalam
kasus yang terjadi di Jawa Tengah sesuai penelitian yang dilakukan dari bulan
Agustus 1989 sampai Oktober 1990 di Salah satu
Kabupaten Magelang. Permasalahan terjadi antara pasien dan tenaga kesehatan di
PUSKESMAS. Adanya hambatan dalam komunikasi, mitos yang berkembang di
masyarakat, dan masalah financial.
2.2 Macam Teori Health Belief Model
1. Perceived susceptibility:
Masyarakat
beranggapan jika mereka tidak disuntik mudah tertular penyakit. Selain itu mereka juga mengetahui efek samping
dari suntik yaitu demam (biasanya pada anak-anak).
2. Perceived severity:
Mereka
tidak suntik maka mereka tidak akan sembuh.
3. Perceived benefit of action :
Masyarakat
paham bahwa jika mereka disuntik maka akan sembuh.
4. Perceived barrier to action :
Masyarakat
percaya bahwa seseorang harus menderita terlebih dahulu untuk sembuh.
5. Cues to action :
Pasien sudah mengerti kebiasaan seperti apa yang harus mereka lakukan saat berobat ke puskesmas, yaitu setelah memberikan keluhan yang dirasakan saat itu, dokter memberikan pertanyan sugestif “suntik, ya?”, dengan spontan pasien akan berbaring dan membuka celananya siap untuk disuntik.
2.3 Teori Perubahan Perilaku
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi.
Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang di tawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang merekomen-dasikan perubahan perilaku, dan pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa.
Menurut Rosenstock (1974, 1977),
model ini dekat dengan Pendidikan Kesehatan
Konsep : Perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan dan sikap. Secara
khusus bahwa persepsi sesorang tentang kerentanan dan kemujaraban pengobatan
dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku kesehatannya.
Aspek-aspek pokok perilaku kesehatan menurut Rosenstock:
a) Ancaman
· Persepsi tentang kerentanan diri terhadap penyakit (atau kesediaanmenerima diagnosa penyakit).
· Persepsi tentang keparahan penyakit/kondisi kesehatannya.
b) Harapan
· Persepsi tentang keuntungan suatu tindakan
· Persepsi tentang hambatan-hambatan untuk melakukan tindakan itu.
c) Pencetus tindakan:
· Media
· Pengaruh orang lain
· Hal-hal yang mengingatkan (reminders)
d) Faktor-faktor Sosio-demografi (pendidikan, umur, jenis kelamin/gender, sukubangsa).
e) Penilaian
diri (Persepsi tentang kesanggupan diri untuk melakukan tindakan itu)
Ancaman suatu penyakit dipersepsikan secara berbeda oleh setiap individu. Contoh: kanker. Ada yang takut tertular penyakit itu,
tapi ada juga yang menganggap penyakit itu tidak begitu parah, ataupun individu
itu merasa tidak akan tertular olehnya karena diantara anggota keluarganya
tidak ada riwayat penyakit kanker. Keputusan untuk mengambil tindakan/upaya
penanggulangan atau pencegahan penyakit itu tergantung dari persepsi individu
tentang keuntungan dari tindakan tersebut baginya, besar/kecilnya hambatan
untuk melaksanakan tindakan itu serta pandangan individu tentang kemampuan diri
sendiri. Persepsi tentang ancaman penyakit dan upaya penanggulangannya
dipengaruhi oleh latar belakang sosio-demografi si individu. Untuk menguatkan
keputusan bertindak, diperlukan faktor pencetus (berita dari media, ajakan
orang yang dikenal atau ada yang mengingatkan). Jika faktor pencetus itu cukup
kuat dan individu merasa siap, barulah individu itu benar-benar melaksanakan
tindakan yang dianjurkan guna menanggulangi atau mencegah penyakit tersebut.
Health Belief Model menurut Becker (1979) ditentukan oleh :
· Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan
· Menganggap serius masalah
· Yakin terhadap efektivitas pengobatan
· Tidak mahal
· Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan
Kelemahan :
· Bersaing dengan kepercayaan dan sikap-sikap lain
· Pembentukan kepercayaan seiring dengan perubahan perilaku
Model Kepercayaan kesehatan oleh Becker (1974, 1979) :
1. Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu.
Bagaimana menyadarkan masyarakat tersebut bilamana dirinya dapat mengalami diare setiap saat. Oleh karena adanya lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan perilaku yang buruk terhadap kesehatan, seperti cakupan jamban yang rendah serta sumber air bersih yang dikonsumsi berpotensi tercemar oleh kuman. Tidak adanya WC memungkinkan adanya lalat sebagai vektor penyebab terjadinya penularan ke manusia yang sehat lainnya. Sumber air yang digunakan dari sumur pinggir sungai/menggali lubang pasir di pinggir sungai sangat membahayakan bilamana ada penderita cholera yang BAB disungai tersebut.
2. Menganggap masalah ini serius
Terjadinya diare bukan saja dapat menyebabkan kesakitan tetapi juga bahaya kematian. Terutama akibat dehidasi berat oleh diare. Penyakit ini setiap tahunnya merupakan pembunuh no 1 atau no 2 di Indonesia.
3. Meyakini efektifitas tujuan pengobatan dan pencegahan.
Model pengobatan dini dapat mencegah ke tahapan diare berat dengan dehidasi hebat, sehingga tidak perlu dirujuk ke RS. Pencegahan merupakan upaya terbaik dan murah melalui kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat terutama sumber air yang steril, penggunaan WC dan kebiasaan cuci tangan dengan sabun. Dimaksudkan memutuskan penularan penyakit diare.
4. Tidak mahal
Biaya yang tidak mahal karena hanya dengan merubah kebiasaan buruk dimasyarakat. Jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk kesembuhan ditambah dengan hilangnya produktifitas (waktu kerja).
5. Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan
Melaksanakan anjuran oleh petugas
kesehatan merupakan tujuan dari perubahan perilaku.
2.4 Konsep Teoritis
Health Belief Model ini (HBM) adalah teori yang paling
umum digunakan dalam pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan (Glanz, Rimer,
& Lewis, 2002; National Cancer Institute [NCI], 2003). Ini dikembangkan
pada 1950-an sebagai cara untuk menjelaskan mengapa program skrining medis yang
ditawarkan oleh US Public Health Service, terutama untuk TBC, tidak begitu sukses (Hoch-Baum,
1958). Konsep asli yang mendasari HBM adalah
bahwa perilaku kesehatan ditentukan oleh keyakinan pribadi atau persepsi
tentang penyakit dan strategi yang tersedia untuk mengurangi terjadinya penyakit (Hochbaum, 1958).
Persepsi pribadi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan intrapersonal.
2.5 Konstruksi Teori
Berikut empat persepsi yang berfungsi sebagai konstruksi utama dari model: keseriusan
dirasakan, kerentanan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan, dan hambatan yang
dirasakan. Masing-masing persepsi, secara individu atau dalam kombinasi, dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku kesehatan. Baru-baru ini, konstruksi
lainnya telah ditambahkan ke HBM, dengan demikian, HBM telah diperluas dengan mencakup isyarat untuk bertindak, faktor motivasi, dan efisiensi diri.
1.
Keseriusan yang dirasakan
Konstruksi keseriusan yang dirasakan berbicara
dengan kepercayaan individu tentang keseriusan atau keparahan penyakit.
Sementara persepsi keseriusan sering didasarkan pada informasi medis atau
pengetahuan, juga dapat berasal dari keyakinan seseorang bahwa ia akan mendapat
kesulitan akibat
penyakit dan akan
membuat atau berefek pada
hidupnya secara umum (McCormick-Brown, 1999).
Sebagai contoh, sebagian besar dari kita
melihat flu sebagai penyakit relatif ringan. Kita mengerti cara
perawatannya, tinggal di rumah beberapa hari, dan kondisi kita akan lebih baik. Namun, jika kita menderita asma, tertular flu bisa mengantarkan kita ke pembaringan di rumah
sakit. Dalam hal ini, persepsi kita tentang flu mungkin, bahwa itu adalah penyakit yang serius. Atau, jika kita adalah pekerja wiraswasta, terserang flu dapat berarti
seminggu atau lebih kehilangan upah.
Sekali lagi, ini akan mempengaruhi persepsi kita tentang keseriusan penyakit ini.
2.
Kerentanan yang dirasakan
Risiko pribadi atau
kerentanan adalah salah satu persepsi yang lebih kuat dalam mendorong orang
untuk mengadopsi perilaku sehat. Semakin besar risiko yang dirasakan, semakin
besar kemungkinan terlibat dalam perilaku untuk mengurangi risiko. Hal ini adalah apa yang
mendorong laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki untuk divaksinasi
terhadap hepatitis B (de Wit et al., 2005) dan menggunakan kondom dalam upaya
untuk mengurangi kerentanan terhadap infeksi HIV (Belcher et al., 2005).
Kerentanan yang dirasakan memotivasi orang
untuk divaksinasi influenza (Chen et al, 2007.), untuk menggunakan tabir surya untuk mencegah kanker kulit,
dan benang gigi mereka untuk mencegah penyakit gusi dan gigi. Ini begitu logis bahwa ketika orang
percaya bahwa mereka berada pada risiko untuk penyakit, mereka akan lebih
mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mencegah hal itu terjadi. Sayangnya,
sebaliknya juga terjadi. Ketika orang percaya bahwa mereka tidak berisiko atau
memiliki risiko kerentanan yang rendah, perilaku tidak sehat cenderung mengakibatkan munculnya penyakit ini
adalah persis apa yang telah ditemukan dengan orang dewasa yang lebih tua dan
perilaku pencegahan HIV. Karena orang dewasa yang lebih tua umumnya tidak
menganggap diri mereka berada pada risiko infeksi HIV, banyak yang tidak
mempraktekkan seks aman (Rose, 1995; Maes & Louis, 2003). Ini adalah skenario yang sama yang ditemukan terhadap mahasiswa Asia-Amerika. Mereka cenderung untuk melihat
epidemi HIV / AIDS sebagai masalah non-Asia, dengan demikian, persepsi mereka
tentang kerentanan terhadap infeksi HIV adalah rendah dan tidak berhubungan
dengan mempraktekkan perilaku seks aman (Yap, 1993).
3.
Manfaat yang dirasakan
Konstruksi manfaat yang dirasakan adalah pendapat seseorang dari
nilai atau kegunaan dari suatu perilaku baru dalam mengurangi risiko
pengembangan penyakit. Orang-orang cenderung mengadopsi perilaku sehat ketika
mereka percaya perilaku baru akan mengurangi resiko mereka untuk berkembangnya suatu penyakit. Apakah orang berusaha untuk makan lima
porsi buah dan sayuran sehari jika mereka tidak percaya hal itu bermanfaat?
Apakah orang berhenti merokok jika mereka tidak percaya itu lebih baik bagi
kesehatan mereka? Apakah orang menggunakan tabir surya jika mereka tidak
percaya itu bekerja? Mungkin tidak dirasakannya manfaat memainkan peran penting dalam adopsi perilaku
pencegahan sekunder, seperti sebuah pemutaran sebab akibat. Sebuah contoh yang baik dari ini adalah skrining untuk
kanker usus besar. Salah satu tes skrining untuk kanker usus besar adalah
kolonoskopi. Hal ini membutuhkan beberapa hari persiapan sebelum prosedur untuk
benar-benar membersihkan usus besar: diet dibatasi untuk mendapatkan cairan bening diikuti
oleh penggunaan kateter. Prosedur ini melibatkan penyisipan instrumen, tabung
fleksibel yang sangat panjang dengan kamera di ujungnya ke dalam rektum untuk
melihat panjang usus besar. Prosedur itu sendiri dilakukan di bawah anestesi,
sehingga tidak nyaman, tetapi tidak lama untuk pemulihan sesudahnya, dan persiapan yang memakan waktu. Terlepas
dari ketidaknyamanan ini, ini adalah metode terbaik saat ini untuk deteksi dini
kanker usus besar, penyebab utama ketiga kematian akibat kanker di Amerika
Serikat. Ketika kanker usus besar ditemukan lebih awal, ia memiliki angka
kesembuhan 90%. Namun, hanya 36% dari orang di atas usia 50 (yang paling
berisiko) telah melakukan
skrining ini (New York-Presbyterian Hospital, 2006). Apa yang membuat sebagian
orang menjalani pemeriksaan dan yang lain tidak? Di antara wanita, mereka yang
merasakan manfaat dari kolonoskopi (deteksi dini) lebih mungkin untuk menjalani
skrining daripada mereka yang tidak melihat skrining memiliki manfaat (Frank
& Swedmark, 2004).
4.
Hambatan yang dirasakan
Karena perubahan adalah bukan sesuatu yang
datang dengan mudah bagi kebanyakan orang, konstruk terakhir dari HBM adalah masalah hambatan yang
dirasakan untuk berubah. Ini adalah evaluasi individu sendiri atas hambatan yang dihadapi untuk
mengadopsi perilaku baru. Dari semua konstruksi, hambatan yang dirasakan adalah
yang paling signifikan dalam menentukan perubahan perilaku (Janz & Becker,
1984). Dalam rangka untuk perilaku baru yang akan diadopsi, seseorang perlu
untuk percaya manfaat dari perilaku baru lebih besar daripada konsekuensi
melanjutkan perilaku lama (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit A.S., 2004). Hal ini
memungkinkan hambatan yang harus diatasi dan perilaku baru yang akan diadopsi.
Dalam mencoba untuk meningkatkan praktek-praktek pemeriksaan payudara sendiri pada wanita, akan terlihat jelas bahwa ancaman kanker payudara akan memotivasi penerapan praktik deteksi dini. Tentu kanker payudara adalah penyakit yang sangat serius, ini adalah satu hal yang meyakinkan perempuan akan ancaman yang besar. Bahkan dengan semua ini, hambatan untuk melakukan deteksi dini kanker payudara berpengaruh lebih besar atas perilaku daripada ancaman kanker itu sendiri (Champion, 1993; Champion & Menon, 1997; Ellingson & Yarber, 1997; Umeh & Rogan-Gibson, 2001).
Dalam mencoba untuk meningkatkan praktek-praktek pemeriksaan payudara sendiri pada wanita, akan terlihat jelas bahwa ancaman kanker payudara akan memotivasi penerapan praktik deteksi dini. Tentu kanker payudara adalah penyakit yang sangat serius, ini adalah satu hal yang meyakinkan perempuan akan ancaman yang besar. Bahkan dengan semua ini, hambatan untuk melakukan deteksi dini kanker payudara berpengaruh lebih besar atas perilaku daripada ancaman kanker itu sendiri (Champion, 1993; Champion & Menon, 1997; Ellingson & Yarber, 1997; Umeh & Rogan-Gibson, 2001).
5.
Variabel Modifikasi
Empat konstruksi utama dari persepsi dapat dimodifikasi oleh
variabel lain, seperti budaya, tingkat pendidikan, pengalaman masa lalu,
keterampilan, dan motivasi. Variabel tersebut adalah karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi
pribadi. Sebagai contoh, jika seseorang didiagnosis dengan kanker kulit sel
basal dan berhasil diobati, ia mungkin memiliki persepsi kerentanan tinggi
karena ini pengalaman masa lalu dan menjadi lebih sadar dari paparan sinar
matahari karena pengalaman masa lalu. Sebaliknya, pengalaman masa lalu ini bisa
mengurangi persepsi seseorang dari keseriusan karena kanker itu mudah diobati
dan disembuhkan.
Di kelas Hygine Personal di banyak kampus, mahasiswa diwajibkan untuk
menyelesaikan sebuah proyek penelitian perubahan perilaku. Mereka memilih perilaku sehat dan
mengembangkan rencana untuk mengubah dan mengadopsi perilaku yang lebih sehat.
Variabel modifikasi untuk ini
adalah motivasi. Motivasinya adalah kelas.
6.
Isyarat untuk bertindak
Selain empat keyakinan atau persepsi dan
variabel memodifikasi, HBM menunjukkan perilaku yang juga dipengaruhi oleh
isyarat untuk bertindak. Isyarat untuk bertindak adalah peristiwa-peristiwa,
orang, atau hal-hal yang menggerakkan orang untuk mengubah perilaku mereka.
Mengetahui adanya sesama
anggota gereja yang menderita kanker
prostat adalah isyarat yang signifikan untuk tindakan bagi pria Afrika-Amerika untuk menghadiri program-program pendidikan
kanker prostat (Weinrich et al, 1998.). Mendengar cerita TV atau berita radio
tentang penyakit bawaan makanan dan membaca petunjuk penanganan yang aman untuk
paket daging mentah dan unggas merupakan isyarat untuk tindakan yang terkait dengan perilaku
penanganan makanan yang lebih aman (Hanson & Benediktus, 2002).
Setelah ditampilkannya
di kampus-kampus mengenai mobil yang terlibat dalam kecelakaan fatal akibat
mengemudi dalam keadaan mabuk adalah contoh isyarat untuk tindakan jangan
mengemudi setelah minum minuman beralkohol.
7.
Self-Efficacy (Percaya
Kemampuan Diri)
Pada tahun 1988, self-efficacy ditambahkan
dengan empat keyakinan asli dari HBM (Rosenstock, Strecher, & Becker,
1988). Self-efficacy adalah kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk melakukan
sesuatu (Bandura, 1977). Orang umumnya tidak mencoba untuk melakukan sesuatu
yang baru kecuali mereka pikir mereka bisa melakukannya. Jika seseorang percaya
suatu perilaku baru yang berguna (manfaat dirasakan), tetapi berpikir dia tidak
mampu melakukan itu (penghalang dirasakan), kemungkinan bahwa hal itu tidak
akan dilakukan.
MAKASIH!
BalasHapus